0 Comment
Foto: IstimewaFoto: Istimewa

Jakarta -
Libur Natal dan Tahun Baru kemarin meninggalkan polemik perihal harga tiket pesawat yang melambung tinggi. Maskapai pun menjadi bulan-bulanan masyarakat dan dituding terlalu banyak mengambil keuntungan.

Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA) I Gusti Ngurah Ashkara Danadiputra pun menjelaskan perihal kondisi bisnis maskapai dikala ini. Dalam penjelasannya itu, pada dasarnya bisnis maskapai di Indonesia begitu berat.

Pria yang dekat disapa Ari itu menjelaskan, dari sisi biaya dalam bisnis maskapai ada beberapa variabelnya. Di antaranya tergantung dari volatilitas pasarnya, ibarat kurs mata uang dan materi bakar minyak (BBM).

"Khususnya masyarakat juga tahu pembayaran kita komponen cost variabelnya. Semua komponen costnya dalam dolar AS. Sedangkan kursnya berfluktuasi," tuturnya di Penang Bistro, Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Dari sisi materi bakar avtur sendiri mengalami kenaikan yang cukup signifikan, begitu juga dengan nilai tukar rupiah yang terus menurun.

Ari menjelaskan, BBM sendiri menjadi komponen paling besar untuk biaya operasional maskapai yakni sekitar 40-45%. Kemudian ada komponen pembayaran untuk leasing pesawat sebesar 20%.

"Perusahaan leasing ini lebih didominasi oleh Eropa dan AS. Baru-baru ini saja ada dari China dan Jepang. Mereka suplay dengan suku bunga lebih rendah namun aksesabilitasnya masih rendah," terangnya.

Kemudian 10% untuk maintenance pesawat. Sayangnya, kata Ari, kebanyakan pesawat di Indonesia merupakan produksi Airbus dan Boeing. Sehingga dari sisi jasa perawatan pesawat terjadi oligopoli dari kedua perusahaan itu.

"Lalu komponennya 10% untuk biaya pegawai yang juga masyarakat Indonesia yang perlu makan juga," tambah Ari.

Nah, dari seluruh komponen biaya operasi itu, margin laba maskapai hanya 1% sampai 3%. Jika maskapai menjual di posisi tarif batas atas margin manfaatnya pun hanya 3%.

"Margin 3% itu paling manis dengan harga yang selangit. Sementara kemarin dikala Nataru untuk maskapai full service kenaikannya tidak lebih dari batas atas, sedangkan LCC hanya 60-70% dari batas atas," tegasnya.

Ari yang juga Bos Garuda Indonesia pun mengaku kaget ketika informasi tarif pesawat begitu ramai bergulir di masyarakat. Dia pun mengaku sering mendapat pertanyaan kapan tarif akan turun.

Menurutnya kemungkinan rata-rata penurunan yang bisa dilakukan maskapai yakni 30%. Hitungan itu menurutnya batas paling bawah supaya maskapai tidak rugi.

"30% itu batas kemampuan mereka. Batas yang mereka bisa toleransi untuk tidak rugi. Saya yakin itu hanya untuk memuaskan masyarakat saya tahu betul dengan tarif batas saja kami rugi," tambahnya.

Dengan kondisi ibarat itu, lanjut Ari, para maskapai terpaksa untuk banyak melaksanakan penemuan supaya tidak rugi. Banyak yang cari untung dari bisnis cargo sampai ruang iklan di dalam pesawat.

"Jadi kita dari harga tiket saja sudah kelelep. Kami bisa terima pemerintah memang tidak bisa menaikkan tarif batas atas alasannya melihat daya beli masyarakat, makanya kami tidak pernah demo," tutupnya.

Post a Comment

 
Top